http://pay4shares.com/?share=37145

Jumat, 28 Maret 2014

Tentang Para Raja Kecil di 2014

Salah satu fenomena yang muncul setelah reformasi adalah dinasti politik. Dari Sulawesi Selatan hingga Banten, klan-klan menguasai politik lokal. Inilah salah satu wajah politik Indonesia 2014.
Keluarga Syahrul Yasin Limpo, gubernur yang sedang berkuasa untuk periode kedua di provinsi kaya, telah mendominasi politik lokal selama tiga generasi, dan kini generasi keempat sedang menanti.
Delapan kerabat Limpo akan ikut berlaga dalam pemilihan umum legislatif 9 April mendatang: dua orang saudara perempuan, satu saudara laki-laki, dua saudara ipar laki-laki, dua keponakan dan seorang anak perempuannya.
Paradoksnya, dinasti-dinasti ini adalah produk sampingan kelahiran kembali demokrasi Indonesia. Setelah jatuhnya bekas diktator Suharto pada 1998, Indonesia memulai program ambisius bernama desentralisasi, melalui pemilihan umum langsung, yang mengubah para pemimpin lokal menjadi para politisi berpengaruh.
Bagi Indonesia, dinasti keluarga adalah fenomena baru dan terlalu cepat untuk menyimpulkan mereka sebagai sebuah “masalah”, kata Michael Buehler, asisten professor di Northern Illinois University, Amerika Serikat yang melakukan riset tentang elit politik Indonesia.
Saya Kuning
Kampung halaman Limpo di Sulawesi Selatan, bukanlah provinsi terbelakang secara ekonomi.
Dengan jumlah penduduk sekitar delapan juta jiwa, provinsi kaya bijih nikel dan dikenal sebagai produsen besar beras, kakao dan jagung. Ibukotanya Makassar adalah titik penghubung transportasi dan perdagangan antara wilayah barat dengan timur Indonesia.
Duduk di kantornya yang dijaga harimau yang telah dikeringkaan dan menjadi pajangan, Limpo mengutip pencapaiannya sebagai gubernur, bertambahnya kelas menengah, turunnya tingkat kemiskinan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Namun, Sulawesi Selatan mempunyai peringkat rendah diantara provinsi lainnya dalam soal pengeluaran anggaran untuk kesehatan dan pendidikan, demikian menurut studi yang dilakukan pemerintah Australia dan LSM Partnership asal Indonesia.
Limpo memulai karir sebagai seorang birokrat rendahan di Gowa, sebuah kabupaten pinggiran Makassar, yang sejak 2005 lalu dipimpin oleh adik laki-lakinya, Ichsan.
Ada delapan keluarga Limpo yang mencalonkan diri atau kembali mencalonkan diri, baik sebagai anggota DPRD tingkat II Kabupaten/Kota, DPRD tingkat I Provinsi atau DPR nasional, dalam pemilu 2014. Sebagian besar – meski tak semuanya – maju dengan tiket dari Partai Golkar, yang dulu pernah dipakai sebagai kendaraan politik Suharto pada masa Orde Baru.
Adik perempuan Limpo, yakni Dewi, maju melalui Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan anak perempuannya, Thita maju sebagai calon dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Limpo tidak memandang keluarganya sebagai sebuah dinasti. Para pemilih punya pilihan, kata dia memberi alasan, dan jika mereka kebetulan memilih Limpo – itu karena sanak keluarga dia memang bekerja keras, berpengalaman dan jujur.
“Anggota keluarga saya telah mendedikasikan hidup mereka untuk rakyat, dan sejauh ini rekam jejak kami sangat baik,” kata dia. ”Hingga kini tak ada keluarga kami yang menunjukkan tanda-tanda korupsi.”
Pada usianya yang ke-28 tahun, keponakan Limpo, yakni Adnan, sudah menjadi seorang politisi veteran. Ia pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen provinsi satu dekade silam, ketika ia masih duduk di bangku SMA.
Sekarang ia menjadi kandidat dari Golkar – slogan kampanyenya (“Saya Kuning”) berasal dari warna partai – dan mencalonkan diri untuk duduk di kursi legislatif untuk periode ketiga.
“Lihat John F. Kennedy,” kata dia setelah rapat strategi kampanye di salah satu kedai kopi Makassar. ”Semua kerabatnya cocok menjadi pemimpin pada masanya.”
Thita, 33, salah seorang kerabat Limpo yang maju sebagai calon anggota parlemen nasional, membandingkan keluarganya dengan dinasti Gandhi-Nehru di India.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar