http://pay4shares.com/?share=37145

Minggu, 22 September 2013

  • YESUS DAN POLITIK
    Oleh: E.B. Surbakti.


    Tidak ada tokoh yang lebih kontroversial yang pernah lahir ke dunia ini dibandingkan Yesus, Tokoh yang mengguncang dunia bukan dengan pedang dan senapan, melainkan dengan kasih, energi yang tak terukur dan tak terduga kekuatannya sehingga mampu merontokkan sendi-sendi keangkuhan siapa pun.

    Latar belakang

    Ketika Yesus lahir, seluruh wilayah Israel berada di bawah penjajahan Imperium Romawi yang perkasa. Kehidupan bangsa Israel begitu sulit karena tertekan dan tertindas. Di mana-mana terdengar jerit-tangis, keluh-kesah, dan keputusasaan yang mendalam. Meskipun di sana-sini ada juga perlawanan secara sporadis, namun setiap upaya pergerakan kemerdekaan segera dapat ditumpas dengan bengis dan kejam oleh penguasa, bahkan tentara pendudukan dapat berbuat semena-mena terhadap siapa pun yang dicurigai berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan.
                Dalam suasana letih-lesu dan berbeban berat itulah Yesus lahir ke tengah-tengah bangsa Israel. Tidak kurang, Matius segera menggambarkan kelahiran-Nya sebagai kelahiran seorang “Raja” yang akan membangun Kerajaan-Nya yang tak berkesudahan. Bahkan untuk membangkitkan emosional bangsa Israel, Matius mengaitkan silsilah Yesus kepada tokoh Daud, raja Israel paling hebat yang pernah ada (Mat. 1:1). Secara emosional, keterkaitan itu tentu saja mampu membangkitkan semangat baru dan ikatan yang erat dengan orang-orang Israel.
    Tidak heran kalau kemudian Herodes pun terpaksa mengeluarkan “Surat Perintah” yang isinya perintah untuk membunuh semua anak laki-laki yang berusia dua tahun ke bawah di kawasan Betlehem dan sekitarnya tempat Yesus diperkirakan bermukim (Mat. 2:16). Ia merasa kecolongan mendengar penuturan orang-orang majus yang memberitahunya bahwa seorang “Raja” telah lahir dengan selamat tidak begitu jauh dari pusat kekuasaannya. Ini merupakan kegagalan berat para intelijen Herodes dalam memantau dan mengendus setiap pergerakan penduduk. Bagaimana mungkin seorang “raja” bisa tiba-tiba lahir di tengah-tengah wilayah kekuasaannya. Secara politis, peristiwa ini merupakan ancaman serius wibawa dan kekuasaannya sehingga harus segera ditumpas sebelum menimbulkan masalah.

    Pekerjaan Yesus

                Setelah kelahiran-Nya yang menggemparkan, tampaknya Yesus lebih banyak belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi medan pelayanan yang keras. Setidaknya Ia pernah menjadi pengungsi di Tanah Mesir untuk menyelamatkan diri dari amukan kalap Herodes (Mat. 2:13). Ketika Ia muncul kembali pada usia sekitar tiga puluhan, banyak orang Israel menaruh harap kepada-Nya sebagai pejuang yang akan membebaskan tanah air mereka dari cengkeraman kaum penjajah yang lalim.
                Terdapat perbedaan hakiki tentang makna “pembebasan” yang diemban-Nya dengan pemahaman bangsa Israel pada umumnya. Dalam sebuah ceramah-Nya yang berlokasi pada sebuah bukit di hadapan sekumpulan orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, Ia  menyampaikan misi-Nya yang tidak ada kaitannya dengan penjajahan fisik melainkan penjajahan rohani. Saat itulah Ia memaparkan pesan-pesan moral-Nya yang monumental. 
                Bagi Yesus, perbaikan moral dan spiritual jauh lebih penting ketimbang menyinggung perkara-perkara duniawi yang sifatnya hanya sesaat. Tertawan secara rohani jauh lebih berat dan berbahaya ketimbang tertawan secara fisik. “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga,” kata-Nya mengawali ceramah-Nya (Mat. 5:10).
    Sikap itu merupakan awal perseteruan-Nya dengan kaum Farisi dan kelompok-kelompok elite masyarakat Israel, karena ajaran-Nya berbenturan dalam banyak hal dengan mereka. Ketika Ia menegaskan perutusan-Nya  tidak ada kaitannya dengan harapan sebagian besar masyarakat Israel yang menghendaki-Nya berjuang mengusir penjajah dan menegakkan kembali tahta Daud secara fisik, maka harapan pun berubah menjadi kekecewaan berat bagi sebagian besar bangsa Israel. Lebih jauh mereka malah berubah menjadi penentang-Nya. Inilah awal perjalanan Yesus menuju tiang salib di Yerusalem.
    Manifesto kemerdekaan yang digagas Yesus mendapat resistensi hebat dari bangsa-Nya sendiri, karena perbedaan tafsir tentang makna merdeka itu sendiri.  Genderang perang yang ditabuh-Nya sama sekali tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Israel sehingga mereka menolak-Nya.  Kemasygulan itulah yang menjadi pergumulan batin Yesus sehingga Ia berkata, “Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat. 8:11-12).

    Menghindari jebakan

    Di dalam pelayanan-Nya, berkali-kali Yesus menghadapi jebakan licik dari kelompok-kelompok tertentu masyarakat Yahudi bahkan Iblis. Jebakan pertama, misalnya ketika Ia baru saja menyelesaikan puasa panjang selama empat puluh hari empat puluh malam. Puasa yang melelahkan, baik fisiologis maupun psikologis sehingga kelompok Iblis mencobai-Nya. Namun, Yesus mengatasi jebakan tersebut dengan mulus berlandaskan Kitab Suci sehingga tidak tergelincir ke dalam perangkap yang dimainkan Iblis (Mat. 4:1-10).
                Jebakan yang tidak kalah dahsyatnya adalah ketika Ia diperhadapkan kepada jebakan politik (Mat. 22:15-22). Sebagai Guru yang sangat dihormati, tentu seluruh tindak-tanduknya akan menjadi panutan bagi para pengikut-Nya. Namun, dalam jebakan ini pun Yesus menunjukkan bahwa Ia bukanlah seorang yang “mentang-mentang” terhormat, lalu hidup “semau gue” dan mengabaikan peraturan pemerintah. Sebagai warga negara yang baik, Ia bahkan menunjukkan kepatuhan-Nya dalam membayar PBB (Pajak Bumi & Bangunan) Bait Allah (Mat. 17:24-27).
                Menarik disimak adalah ketika Dia diadili oleh Pilatus. Sejumlah demonstran bayaran mengaitkan-Nya dengan tuduhan yang berbau politik, “......bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya, Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja,” tuduh mereka (Luk. 23:2). Ia juga dituduh sebagai provokator dengan dakwaan berat, “Ia menghasut rakyat dengan ajaran-Nya di seluruh Yudea, Ia mulai di Galilea dan sudah sampai ke sini” (Luk. 23:5).
    Menyangkut ajaran, mungkin saja pemerintah pendudukan Romawi tidak ambil pusing, namun, soal membayar pajak apalagi menghasut rakyat tentu saja berurusan langsung dengan wibawa dan otoritas pemerintah. Pajak merupakan sumber utama penghasilan pemerintah sedangkan “menghasut” menyangkut kestabilan negara. Rekayasa politik ini menempatkan Yesus pada posisi pembangkang dan penentang pemerintahan Romawi, hal yang sebetulnya bukan merupakan tujuan Yesus datang ke dunia ini.
    Dengan melibatkan pemerintahan pendudukan Romawi, maka posisi para penentang-Nya semakin kuat karena Yesus menghadapi dua kubu sekaligus. Meskipun secara pribadi Pontius Pilatus tahu bahwa Yesus adalah orang yang jujur dan bukan tokoh politik yang berbahaya, namun ia membiarkan Yesus diperlakukan semena-mena bahkan dihukum mati dengan disalibkan layaknya penjahat kriminal. Penyaliban adalah bentuk penghukuman yang paling hina dan memalukan. Di tangan Pilatuslah Yesus mengalami aniaya paling berat.

    Penutup

    Tugas utama Yesus adalah memberitakan Injil keselamatan yakni diri-Nya sendiri. Tugas tersebut Dia usung mulai dari Galilea melalui negeri Samaria menuju Yudea dan berakhir di atas tiang salib di Yerusalem. Sungguh menarik bahwa Yesus tidak pernah mencampur-adukkan pelayanan-Nya dengan urusan-urusan politik praktis dalam mengabarkan Injil-Nya. Sebagai tokoh spiritual yang dihormati Ia tidak pernah mengaitkan ajaran-Nya dengan politik dan kekuasaan. Ia bukan tokoh oportunis dan ajarannya menolak pragmatisme.
    Mengabarkan Injil Kristus merupakan   tugas mulia yang wajib dilakukan oleh setiap orang percaya. Namun, penginjilan mudah sekali terseret ke dalam pusaran isu politik. Isu kristenisasi, misalnya, ditiupkan untuk memanaskan suasana sehingga meningkatkan suhu politik. Isu ini sebetulnya lebih dekat kepada urusan statistik yang seringkali manipulatif ketimbang masalah pertumbuhan iman. Akibatnya terbitlah surat-surat keputusan yang tujuannya menghambat pekabaran Injil sehingga semakin banyak orang yang akan menuju maut (Rm 6:23).
    Bercermin dari sikap Yesus yang merupakan tokoh sentral dalam kekristenan, maka kita dapat menangkap makna bahwa seyogianyalah kita harus mampu memisahkan kehidupan rohani dengan kehidupan politik. Kehidupan rohani menyangkut integral sedangkan politik bergaitan dengan kekuasaan. Sebagai tokoh istimewa, tidak bisa dipungkiri pasti setiap sepak terjang Yesus berdampak secara politis terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat (Luk. 2:32).
    Patut diteladani, betapapun para penentang-Nya selalu berusaha menyeret-Nya ke dalam kancah politik atau memolitisir ajaran-Nya, namun, Ia tetap  dapat menjaga kenetralan-Nya dan tidak pernah bergeser dari perutusan-Nya semula yakni membebaskan umat manusia dari ikatan-ikatan belenggu dosa (Yoh 3:16).
    ooOoo
  • Martin Peranginangin
    Message 2 of 2 , 23 Aug, 2008
    Tulisan menarik. Enggo dung kubaca.


    From: surbakti elisa <surbaktielisa@...>
    Subject: [gbkp] YESUS DAN POLITIK
    To: gbkp@yahoogroups.com
    Date: Friday, August 22, 2008, 11:55 PM

                     YESUS DAN POLITIK
    Oleh: E.B. Surbakti.


    Tidak ada tokoh yang lebih kontroversial yang pernah lahir ke dunia ini dibandingkan Yesus, Tokoh yang mengguncang dunia bukan dengan pedang dan senapan, melainkan dengan kasih, energi yang tak terukur dan tak terduga kekuatannya sehingga mampu merontokkan sendi-sendi keangkuhan siapa pun.

    Latar belakang

    Ketika Yesus lahir, seluruh wilayah Israel berada di bawah penjajahan Imperium Romawi yang perkasa. Kehidupan bangsa Israel begitu sulit karena tertekan dan tertindas. Di mana-mana terdengar jerit-tangis, keluh-kesah, dan keputusasaan yang mendalam. Meskipun di sana-sini ada juga perlawanan secara sporadis, namun setiap upaya pergerakan kemerdekaan segera dapat ditumpas dengan bengis dan kejam oleh penguasa, bahkan tentara pendudukan dapat berbuat semena-mena terhadap siapa pun yang dicurigai berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan.
                Dalam suasana letih-lesu dan berbeban berat itulah Yesus lahir ke tengah-tengah bangsa Israel. Tidak kurang, Matius segera menggambarkan kelahiran-Nya sebagai kelahiran seorang “Raja” yang akan membangun Kerajaan-Nya yang tak berkesudahan. Bahkan untuk membangkitkan emosional bangsa Israel, Matius mengaitkan silsilah Yesus kepada tokoh Daud, raja Israel paling hebat yang pernah ada (Mat. 1:1). Secara emosional, keterkaitan itu tentu saja mampu membangkitkan semangat baru dan ikatan yang erat dengan orang-orang Israel.
    Tidak heran kalau kemudian Herodes pun terpaksa mengeluarkan “Surat Perintah” yang isinya perintah untuk membunuh semua anak laki-laki yang berusia dua tahun ke bawah di kawasan Betlehem dan sekitarnya tempat Yesus diperkirakan bermukim (Mat. 2:16). Ia merasa kecolongan mendengar penuturan orang-orang majus yang memberitahunya bahwa seorang “Raja” telah lahir dengan selamat tidak begitu jauh dari pusat kekuasaannya. Ini merupakan kegagalan berat para intelijen Herodes dalam memantau dan mengendus setiap pergerakan penduduk. Bagaimana mungkin seorang “raja” bisa tiba-tiba lahir di tengah-tengah wilayah kekuasaannya. Secara politis, peristiwa ini merupakan ancaman serius wibawa dan kekuasaannya sehingga harus segera ditumpas sebelum menimbulkan masalah.

    Pekerjaan Yesus

                Setelah kelahiran-Nya yang menggemparkan, tampaknya Yesus lebih banyak belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi medan pelayanan yang keras. Setidaknya Ia pernah menjadi pengungsi di Tanah Mesir untuk menyelamatkan diri dari amukan kalap Herodes (Mat. 2:13). Ketika Ia muncul kembali pada usia sekitar tiga puluhan, banyak orang Israel menaruh harap kepada-Nya sebagai pejuang yang akan membebaskan tanah air mereka dari cengkeraman kaum penjajah yang lalim.
                Terdapat perbedaan hakiki tentang makna “pembebasan” yang diemban-Nya dengan pemahaman bangsa Israel pada umumnya. Dalam sebuah ceramah-Nya yang berlokasi pada sebuah bukit di hadapan sekumpulan orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, Ia  menyampaikan misi-Nya yang tidak ada kaitannya dengan penjajahan fisik melainkan penjajahan rohani. Saat itulah Ia memaparkan pesan-pesan moral-Nya yang monumental. 
                Bagi Yesus, perbaikan moral dan spiritual jauh lebih penting ketimbang menyinggung perkara-perkara duniawi yang sifatnya hanya sesaat. Tertawan secara rohani jauh lebih berat dan berbahaya ketimbang tertawan secara fisik. “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga,” kata-Nya mengawali ceramah-Nya (Mat. 5:10).
    Sikap itu merupakan awal perseteruan- Nya dengan kaum Farisi dan kelompok-kelompok elite masyarakat Israel, karena ajaran-Nya berbenturan dalam banyak hal dengan mereka. Ketika Ia menegaskan perutusan-Nya  tidak ada kaitannya dengan harapan sebagian besar masyarakat Israel yang menghendaki- Nya berjuang mengusir penjajah dan menegakkan kembali tahta Daud secara fisik, maka harapan pun berubah menjadi kekecewaan berat bagi sebagian besar bangsa Israel. Lebih jauh mereka malah berubah menjadi penentang-Nya. Inilah awal perjalanan Yesus menuju tiang salib di Yerusalem.
    Manifesto kemerdekaan yang digagas Yesus mendapat resistensi hebat dari bangsa-Nya sendiri, karena perbedaan tafsir tentang makna merdeka itu sendiri.  Genderang perang yang ditabuh-Nya sama sekali tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Israel sehingga mereka menolak-Nya.  Kemasygulan itulah yang menjadi pergumulan batin Yesus sehingga Ia berkata, “Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat. 8:11-12).

    Menghindari jebakan

    Di dalam pelayanan-Nya, berkali-kali Yesus menghadapi jebakan licik dari kelompok-kelompok tertentu masyarakat Yahudi bahkan Iblis. Jebakan pertama, misalnya ketika Ia baru saja menyelesaikan puasa panjang selama empat puluh hari empat puluh malam. Puasa yang melelahkan, baik fisiologis maupun psikologis sehingga kelompok Iblis mencobai-Nya. Namun, Yesus mengatasi jebakan tersebut dengan mulus berlandaskan Kitab Suci sehingga tidak tergelincir ke dalam perangkap yang dimainkan Iblis (Mat. 4:1-10).
                Jebakan yang tidak kalah dahsyatnya adalah ketika Ia diperhadapkan kepada jebakan politik (Mat. 22:15-22). Sebagai Guru yang sangat dihormati, tentu seluruh tindak-tanduknya akan menjadi panutan bagi para pengikut-Nya. Namun, dalam jebakan ini pun Yesus menunjukkan bahwa Ia bukanlah seorang yang “mentang-mentang” terhormat, lalu hidup “semau gue” dan mengabaikan peraturan pemerintah. Sebagai warga negara yang baik, Ia bahkan menunjukkan kepatuhan-Nya dalam membayar PBB (Pajak Bumi & Bangunan) Bait Allah (Mat. 17:24-27).
                Menarik disimak adalah ketika Dia diadili oleh Pilatus. Sejumlah demonstran bayaran mengaitkan-Nya dengan tuduhan yang berbau politik, “......bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya, Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja,” tuduh mereka (Luk. 23:2). Ia juga dituduh sebagai provokator dengan dakwaan berat, “Ia menghasut rakyat dengan ajaran-Nya di seluruh Yudea, Ia mulai di Galilea dan sudah sampai ke sini” (Luk. 23:5).
    Menyangkut ajaran, mungkin saja pemerintah pendudukan Romawi tidak ambil pusing, namun, soal membayar pajak apalagi menghasut rakyat tentu saja berurusan langsung dengan wibawa dan otoritas pemerintah. Pajak merupakan sumber utama penghasilan pemerintah sedangkan “menghasut” menyangkut kestabilan negara. Rekayasa politik ini menempatkan Yesus pada posisi pembangkang dan penentang pemerintahan Romawi, hal yang sebetulnya bukan merupakan tujuan Yesus datang ke dunia ini.
    Dengan melibatkan pemerintahan pendudukan Romawi, maka posisi para penentang-Nya semakin kuat karena Yesus menghadapi dua kubu sekaligus. Meskipun secara pribadi Pontius Pilatus tahu bahwa Yesus adalah orang yang jujur dan bukan tokoh politik yang berbahaya, namun ia membiarkan Yesus diperlakukan semena-mena bahkan dihukum mati dengan disalibkan layaknya penjahat kriminal. Penyaliban adalah bentuk penghukuman yang paling hina dan memalukan. Di tangan Pilatuslah Yesus mengalami aniaya paling berat.

    Penutup

    Tugas utama Yesus adalah memberitakan Injil keselamatan yakni diri-Nya sendiri. Tugas tersebut Dia usung mulai dari Galilea melalui negeri Samaria menuju Yudea dan berakhir di atas tiang salib di Yerusalem. Sungguh menarik bahwa Yesus tidak pernah mencampur-adukkan pelayanan-Nya dengan urusan-urusan politik praktis dalam mengabarkan Injil-Nya. Sebagai tokoh spiritual yang dihormati Ia tidak pernah mengaitkan ajaran-Nya dengan politik dan kekuasaan. Ia bukan tokoh oportunis dan ajarannya menolak pragmatisme.
    Mengabarkan Injil Kristus merupakan   tugas mulia yang wajib dilakukan oleh setiap orang percaya. Namun, penginjilan mudah sekali terseret ke dalam pusaran isu politik. Isu kristenisasi, misalnya, ditiupkan untuk memanaskan suasana sehingga meningkatkan suhu politik. Isu ini sebetulnya lebih dekat kepada urusan statistik yang seringkali manipulatif ketimbang masalah pertumbuhan iman. Akibatnya terbitlah surat-surat keputusan yang tujuannya menghambat pekabaran Injil sehingga semakin banyak orang yang akan menuju maut (Rm 6:23).
    Bercermin dari sikap Yesus yang merupakan tokoh sentral dalam kekristenan, maka kita dapat menangkap makna bahwa seyogianyalah kita harus mampu memisahkan kehidupan rohani dengan kehidupan politik. Kehidupan rohani menyangkut integral sedangkan politik bergaitan dengan kekuasaan. Sebagai tokoh istimewa, tidak bisa dipungkiri pasti setiap sepak terjang Yesus berdampak secara politis terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat (Luk. 2:32).
    Patut diteladani, betapapun para penentang-Nya selalu berusaha menyeret-Nya ke dalam kancah politik atau memolitisir ajaran-Nya, namun, Ia tetap  dapat menjaga kenetralan-Nya dan tidak pernah bergeser dari perutusan-Nya semula yakni membebaskan umat manusia dari ikatan-ikatan belenggu dosa (Yoh 3:16).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar