http://pay4shares.com/?share=37145

Kamis, 22 November 2012



A.                SEKILAS TENTANG DAYAK
            Dayak merupakan nama kolektif untuk demikian banyak suku asli di Kalimantan, yang sebagian besar menghuni daerah pedalaman. Daerah hilir atau daerah pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain.
            Suku Dayak, sebagaimana suku lainnya , memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Kebudayaan Dayak terus mengalami perubahan karena pengaruh dari luar dan dalam. Beberapa program pembangunan dan pembaharuan, kurang menghargai nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Dayak. Pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kurang memahami pola kehidupan dan cara berpikir masyarakat Dayak. Contohnya adalah “rumah panjang” atau rumah betang orang Dayak, yang dipandang sebagai salah satu faktor penghambat dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat yang modern.[1]

B.                 MAKNA RUMAH BETANG
            Rumah betang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang bersambung telah dikenal hampir oleh seluruh suku Dayak. Orang Iban menyebutnya “betai panjae”, dan orang Banuaka menyebutnya “sao langke”.
            Rumah betang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya. Bagi masyarakat Dayak, rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung disana. Ralp Linton ( dalam The Culture Background of Personality, New York: Appleton-Century-Croft, 1945, yang dimuat oleh editor T.O Ilrohmi dalam buku yang disuntingnya dan diberi judul Pokok-Pokok Antropologi Budaya  ) mengatakan :
“ Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan dunia seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan. Karena itu, bagi seorang ilmu ahli sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak memiliki kebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dari suatu kebudayaan.”[2]

C.                KEHIDUPAN KOMUNAL DI RUMAH BETANG
            Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak dapat mempertahankan rumah betang mereka.
            Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.
            Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak menolak perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama perubahan yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah dan jasmaniah mereka.
            Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan peternakan.
Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.[3]
D.                SENI TRADISIONAL
            Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal.
            Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh ( pandai besi ), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.
            Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.

E.                 BAGIAN –BAGIAN PADA RUMAH BETANG SUKU DAYAK

1.                  Tangga
Tangga untuk naik ke rumah betang berjumlah tiga, yaitu di ujung kiri kanan dan satu di bagian depan yang menandakan untuk pengungkapan rasa komunitas dan solidaritas warga yang berada di dalam rumah tersebut. Anak tangga biasanya mempunyai hitungan mistik yaitu tonggak(ganjil), tunggak dan tidak boleh jatuh pada hitungan tinggal (genap). Hitunggan anak tangga dimulai dari hitunggan dari tonggak dan seterusnya sesuai tinggi rendahnya rumah, kepala tangga dibuat patung kepala manusia yang dalam mistiknya sebagai penunggu, penjaga rumah beserta isi keluarga yang mendiami agar yidak diganggu oleh roh ataupun marabahaya.

Posisi tangga
1.      Ada rumah betang yang memiliki tangga di kedua sisi ujung rumah panjang. Biasanya untuk rumah yang ukurannya sangat panjang (300 – 400 m) biasanya dibuat dengan tujuan memudahkan akses dari kedua sisi masing-masing rumah.
2.      Ada juga rumah betang yang memiliki hanya 1 tangga dan terletak di depan dan tengah – tengah. Ukuran panjang rumah ini pun hanya mencapai 200  m.
3.      Pada rumah betang yang baru (kepentingan pariwisata), biasanya di bangun tiga tangga. Dua tangga di sisi kiri dan kanan dan satu tangga di tengah bagian depan.
2.                  Pante
Merupakan lantai yang berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar, berfunggsi sebagai tempat antara lain: menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainya. Lantai pante berasal dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
3.                  Serambi
Merupakan pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarut halus menyerupai jumbai-jumbai ruas  demi ruas ( semacam janur ).
4.                  Sami
Merupakan ruangan terbuka milik bersama, digunakan sebagai tempat menerima tamu, menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan. Ditempat ini biasanya para tamu yang datang dipersilahkan duduk dan disuguhi hidangan oleh tuan rumah di bilik yang didatangi sedangkan keluarga yang lain biasanya juga ikut memberikan suguhan sebagai tanda kebersamaan antar keluarga dalam komunitas di rumah panjang ini.
5.                  Dapur
Disudut ruangan dalam bilik masing-masing keluarga ada dapur dengan kelengkapannya  ( para api ).
6.                  Jungkar
Merupakan ruangan tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ini terkadang ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn ( ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu ) yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.[4]   

F.                 BANGUNAN-BANGUNAN TAMBAHAN SELAIN RUMAH BETANG
1.                  Jurokng (lumbung padi) ; biasa berbentuk bujur sangkar dan berukuran 4x4 atau 5x5 m. Di kalangan Dayak, lumbung merupakan tempat menyimpan padi cadangan sekaligus tempa diadakan upacara panen padi tempat bersyukur kepada Ponompa(Tuhan) atas hasil panen yang ada.
2.                  Pelaman ;gubuk tempa peristirahatan yang terdapat di ladang.
3.                  Sandong ; beberapa sub suku Dayak mempunyai tradisi seperti suku Indian yakni Totem. Dengan tiang penuh ukiran yang dipuncaknya terdapat patung enggang mereka meyakini tempat itu adalah penghubung antara dunia dan dunia di atas dunia. Biasanya juga ada yang menyimpan tulang para leluhurnya di atas sandong.
G.                                     KONSTRUKSI RUMAH BETANG SECARA UMUM
            Ada beberapa jenis rumah betang yang tersebar di kalimantan. Sesuai dengan yang telah diungkap di atas, masing-masing sub suku yang beragam (hingga 450 sub suku) membangun rumah panjang sesuai dengan karakteristik budaya dan kondisi alam. Secara umum bentuk rumah betang antar sub suku dibedakan dengan :






1.      Tanpa hiasan
Rumah betang dengan atap tanpa hiasan merupakan rumah betang yang terbanyak yang masih dapat ditemui sekarang. Biasanya masih dihuni sampai sekarang. Seperti di daerah Kapuas Hulu, Sanggau dan Pontianak Kalimantan Barat.
 


DAFTAR PUSTAKA

Anton W. Nieuwenhuis, Di Pedalaman Borneo, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, sampul belakang.

Agustian, Juangi Matias, Mirza, Koleksi Religi Kehidupan Tradisional Masyarakat Dayak Kalimantan Barat. Departemen dan Kebudayaan Kalimantan Barat. 1995

Florus Paulus, Djueng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, LP3S-Institute Dayakology Research and Development Gramedia Indonesia. 1994

Paul Michael Taylor dan Lorraine V. Aragon, Beyond The Java Sea, The National Museum of Natural History, Washington D.C, p. 148










[1]  Florus Paulus, Djuweng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, ‘Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi’ ( LP3S-Institute of Dayakology Research and Development dengan Gramedia Widiasarana Indonesia,1994 ), p. 199.


[2] Florus Paulus, Djuweng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, ‘Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi’ ( LP3S-Institute of Dayakology Research and Development dengan Gramedia Widiasarana Indonesia,1994 ), pp. 205-206.
[3] Ibid
[4] Agustiah, Juangi Matias, Mirza.’Koleksi Religi Kehidupan Tradisional Masyarakat Dayak Kalimantan Barat. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat, 1995 )pp. 35-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar