Quote:
Badan intelijen pusat Amerika Serikat selama ini juga melakukan
aksi pengintaian terhadap lebih dari lima juta tweets tiap harinya.
Tindakan ini dilakukan untuk mengawasi gerak-gerik para ‘pemberontak’,
‘militan’, aktivis atau diplomat yang menyiarkan informasi melalui
Twitter, Facebook, atau sejumlah jejaring sosial lainnya.
Di kantor Open Source Center, tim analis CIA yang diketahui dengan nama
“vengeful librarians” juga mengawasi surat kabar, stasiun televisi,
stasiun radio, chats room, serta semua bentuk media sosial lainnya dalam
berbagai bahasa, dari seluruh dunia.
CIA mempelajari serta me-recheck materi informasi yang mereka awasi
secara sembunyi-sembunyi untuk membentuk sebuah snapshot dari suasana di
Pakistan (setelah serangan Navy SEAL yang digembar-gemborkan menewaskan
Syaikh Usamah bin Laden), pemberontakan yang terjadi di Timur Tengah
dan Afrika Utara, mengawasi gerak-gerik Cina, Iran, Rusia, Korea, dan
negara-negara lainnya.
Tim pengawas ini dibentuk di bawah mandat Komisi 11 September, yang
berfokus terutama pada kontraterorisme dan kontraproliferasi.
Bagaimana Cara CIA Awasi Twitter dan Facebook?
Bukan rahasia jika pihak intelijen sebuah negara saat ini gemar
mengawasi social media seperti Facebook dan Twitter. Hal itu juga
dilakukan Amerika Serikat melalui Central Intelligence Agency (CIA).
Salah satu lembaga dalam CIA yang melakukan hal itu adalah The Open
Source Center (OSC). Meski namanya mengandung kata-kata Open Source,
lembaga ini tak terkait dengan software Opan Source seperti Linux dan
lainnya.
Di dalam OSC terdapat tim khusus yang menjuluki diri sendiri sebagai
'Ninja Librarians'. Tugas tim ini adalah mengawasi Facebook, Twitter,
chat room dan forum online apapun yang terbuka untuk kontribusi dari
pengguna internet manapun.
Jumlah pasti tim itu tidak disebutkan, namun Associated Press menakar
angka ratusan sebagai gambaran bahwa tim itu cukup besar. Kebanyakan
anggota tim adalah analis dengan gelar master di bidang perpustakaan,
cocok dengan julukan 'Ninja Librarian'.
Selain itu, kemampuan bahasa asing sangat diperlukan bagi anggota tim
tersebut. Karena OSC disebutkan memang fokus pada situasi di luar
negeri. Selain di kantor pusatnya di Virginia, AS, ada juga analis OSC
yang disebar di kedutaan besar AS di berbagai negara.
Pekerjaan tim ini cukup intens, kadang bahkan mencakup pemantauan secara
real-time. Contohnya saat terjadi kerusuhan di Thailand, atau beberapa
saat setelah Osama bin Laden tewas di tangan Navy Seal dan tentunya
momen-momen demonstrasi di Timur Tengah. Hasil laporan mereka menjadi
bagian dari laporan harian yang diterima Presiden AS Barack Obama.
Kehandalan tim ini juga tak diragukan. Sebagai contoh, para analis ini
disebut sudah memprediksikan akan terjadinya penggulingan kekuasaan di
Mesir sebelum hal itu terjadi. Hanya saja, mereka tidak bisa meramalkan
kapan tepatnya revolusi berlangsung.
OSC dibangun sejak tragedi 11 September di AS. Lembaga ini merupakan
salah satu hasil rekomendasi Komisi 11 September yang dimaksudkan
sebagai cara memperbaiki strategi anti terorisme.
Sedangkan fokus OSC pada social media mulai terjadi setelah Revolusi
Hijau di Iran pada 2009. Ketika itu para analis mengamati bagaimana
Twitter dipakai oleh demonstran untuk mengakali sensor yang diterapkan
pemerintah.
Tak hanya mengawasi, 'Ninja Pustakawan' ini juga berusaha memastikan
kebenaran informasi yang muncul di social media. Mereka dikatakan
memiliki metode untuk mencari siapa yang informasinya bisa dipercaya dan
siapa yang tidak. Salah satunya dilakukan dengan cek silang kabar di
social media dengan pemberitaan umum atau bahkan dari penyadapan
telepon.
Facebook, BlackBerry, dan Digital Colonization
Tahukah Anda? Peradaban Barat (dan juga sejumlah negara maju di belahan
bumi lainnya) bisa maju disebabkan masyarakatnya secara lengkap telah
mengalami berbagai tahapan kebudayaan secara linear dan utuh. Dari
kebudayaan lisan, kebudayaan tulisan, kebudayaan baca, kebudayaan
audio-visual (teve), dan sekarang kebudayaan cyber. Hal ini tidak
dialami oleh bangsa Indonesia. Bangsa ini hanya mengalami kebudayaan
lisan, lalu melompat ke kebudayaan audio-visual, dan sekarang
termehek-mehek dengan kebudayaan cyber. Kebudayaan tulisan dan baca
terlewat, dan sedihnya, terlupakan.
Bisa jadi, sebab itu ada perbedaan besar antara kebiasaan masyarakat
Barat (dan masyarakat negara maju lainnya) dengan kebiasaan masyarakat
Indonesia, salah satunya yang paling mudah dilihat adalah saat mengisi
waktu luang, apakah itu sedang antre di bank, menunggu panggilan di
loket rumah sakit, tengah menunggu kendaraan atau seseorang, sedang
duduk di lobi hotel, atau sedang duduk di dalam kendaraan umum.
Di Barat dan di negara-negara maju, orang biasa mengisi waktu kosong
atau waktu luangnya dengan membaca, apakah itu suratkabar, majalah,
novel, atau buku non-fiksi. Jika bepergian kemana pun, mereka terbiasa
selalu menyelipkan buku di dalam tas atau menentengnya di tangan. Sebab
itu, bukan pemandangan aneh jika di dalam subway, di taman-taman, di
halte bus, di depan loket berbagai instansi, di pinggir jalan, maupun di
pantai, mereka selalu asyik mengisinya dengan kegiatan membaca.
Bagaimana dengan orang Indonesia? Silakan pergi ke tempat-tempat yang
telah disebutkan di atas. Anda akan menemukan banyak sekali
saudara-saudara sebangsa kita tengah asyik memainkan gadget mereka,
bukan membaca. Sebab itu, Indonesia sejak lama menjadi pangsa pasar yang
sangat menggiurkan bagi para produsen ponsel dunia. Bahkan konon,
negeri ini telah menjadi semacam wilayah test pasar bagi produk-produk
ponsel dunia teranyar. Dan setahun belakangan ini, ponsel dengan
fasilitas chatting atau pun yang membenamkan kemampuan untuk bisa
ber-fesbukan-ria laku keras. Blackberry-pun naik daun. Dan jangan heran
jika di negara terkorup dunia dan nyaris masuk dalam kategori "Negara
Gagal" ini ternyata bisa menjadi empat besar dunia dalam rating angka
penjualan Blackberry. Blacberry dan Fesbuk telah menjadi trend
masyarakat kita sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar