SENI ARSITEKTUR DAYAK
A. SEKILAS TENTANG DAYAK
Dayak
merupakan nama kolektif untuk demikian banyak suku asli di Kalimantan,
yang sebagian besar menghuni daerah pedalaman. Daerah hilir atau daerah
pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu, Banjar, Bugis,
Jawa, Madura, dan lain-lain.
Suku Dayak, sebagaimana suku lainnya , memiliki kebudayaan dan adat
istiadat yang berlaku bagi mereka. Kebudayaan Dayak terus mengalami
perubahan karena pengaruh dari luar dan dalam. Beberapa program
pembangunan dan pembaharuan, kurang menghargai nilai-nilai budaya yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat Dayak. Pada perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan kurang memahami pola kehidupan dan cara berpikir
masyarakat Dayak. Contohnya adalah “rumah panjang” atau rumah betang
orang Dayak, yang dipandang sebagai salah satu faktor penghambat dalam
pembinaan dan pembangunan masyarakat yang modern.[1]
B. MAKNA RUMAH BETANG
Rumah betang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang bersambung
telah dikenal hampir oleh seluruh suku Dayak. Orang Iban menyebutnya
“betai panjae”, dan orang Banuaka menyebutnya “sao langke”.
Rumah betang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya. Bagi
masyarakat Dayak, rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena
hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung disana. Ralp Linton (
dalam The Culture Background of Personality, New York: Appleton-Century-Croft, 1945, yang dimuat oleh editor T.O Ilrohmi dalam buku yang disuntingnya dan diberi judul Pokok-Pokok Antropologi Budaya ) mengatakan :
“
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun
dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang
oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Keseluruhan
ini mencakup kegiatan-kegiatan dunia seperti mencuci piring atau
menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama
derajatnya dengan hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan. Karena itu,
bagi seorang ilmu ahli sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang
tidak memiliki kebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan,
bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah
makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dari suatu kebudayaan.”[2]
C. KEHIDUPAN KOMUNAL DI RUMAH BETANG
Rumah betang yang tersisa pada masyarakat Dayak merupakan contoh
kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan
lingkungan. Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat Dayak dapat mempertahankan rumah betang mereka.
Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara
berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar
hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus
bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh
kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan
kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.
Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak menolak
perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama perubahan yang
menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah dan jasmaniah mereka.
Pola pemukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber
makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk
berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang
buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap
sudah mulai berkurang. Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan
dan peternakan.
Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.[3]
D. SENI TRADISIONAL
Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala
kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih
seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan
tradisional yang bersifat non formal.
Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam
mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh ( pandai besi ), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.
Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk
berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat
berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.
E. BAGIAN –BAGIAN PADA RUMAH BETANG SUKU DAYAK
1. Tangga
Tangga
untuk naik ke rumah betang berjumlah tiga, yaitu di ujung kiri kanan
dan satu di bagian depan yang menandakan untuk pengungkapan rasa
komunitas dan solidaritas warga yang berada di dalam rumah tersebut.
Anak tangga biasanya mempunyai hitungan mistik yaitu tonggak(ganjil),
tunggak dan tidak boleh jatuh pada hitungan tinggal (genap). Hitunggan
anak tangga dimulai dari hitunggan dari tonggak dan seterusnya sesuai
tinggi rendahnya rumah, kepala tangga dibuat patung kepala manusia yang
dalam mistiknya sebagai penunggu, penjaga rumah beserta isi keluarga
yang mendiami agar yidak diganggu oleh roh ataupun marabahaya.
Posisi tangga
1. Ada
rumah betang yang memiliki tangga di kedua sisi ujung rumah panjang.
Biasanya untuk rumah yang ukurannya sangat panjang (300 – 400 m)
biasanya dibuat dengan tujuan memudahkan akses dari kedua sisi
masing-masing rumah.
2. Ada
juga rumah betang yang memiliki hanya 1 tangga dan terletak di depan
dan tengah – tengah. Ukuran panjang rumah ini pun hanya mencapai 200 m.
3. Pada
rumah betang yang baru (kepentingan pariwisata), biasanya di bangun
tiga tangga. Dua tangga di sisi kiri dan kanan dan satu tangga di tengah
bagian depan.
2. Pante
Merupakan
lantai yang berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar,
berfunggsi sebagai tempat antara lain: menjemur padi, pakaian, untuk
mengadakan upacara adat lainya. Lantai pante berasal dari bahan bambu,
belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari
batang papan.
3. Serambi
Merupakan
pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan
jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat
kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya
diarut halus menyerupai jumbai-jumbai ruas demi ruas ( semacam janur ).
4. Sami
Merupakan
ruangan terbuka milik bersama, digunakan sebagai tempat menerima tamu,
menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan. Ditempat ini biasanya
para tamu yang datang dipersilahkan duduk dan disuguhi hidangan oleh
tuan rumah di bilik yang didatangi sedangkan keluarga yang lain biasanya
juga ikut memberikan suguhan sebagai tanda kebersamaan antar keluarga
dalam komunitas di rumah panjang ini.
5. Dapur
Disudut ruangan dalam bilik masing-masing keluarga ada dapur dengan kelengkapannya ( para api ).
6. Jungkar
Merupakan
ruangan tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang
atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap
berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar
ini terkadang ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu
keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar
yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan tingaatn ( ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu ) yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.[4]
F. BANGUNAN-BANGUNAN TAMBAHAN SELAIN RUMAH BETANG
1. Jurokng (lumbung
padi) ; biasa berbentuk bujur sangkar dan berukuran 4x4 atau 5x5 m. Di
kalangan Dayak, lumbung merupakan tempat menyimpan padi cadangan
sekaligus tempa diadakan upacara panen padi tempat bersyukur kepada Ponompa(Tuhan) atas hasil panen yang ada.
2. Pelaman ;gubuk tempa peristirahatan yang terdapat di ladang.
3. Sandong
; beberapa sub suku Dayak mempunyai tradisi seperti suku Indian yakni
Totem. Dengan tiang penuh ukiran yang dipuncaknya terdapat patung
enggang mereka meyakini tempat itu adalah penghubung antara dunia dan dunia di atas dunia. Biasanya juga ada yang menyimpan tulang para leluhurnya di atas sandong.
G. KONSTRUKSI RUMAH BETANG SECARA UMUM
Ada
beberapa jenis rumah betang yang tersebar di kalimantan. Sesuai dengan
yang telah diungkap di atas, masing-masing sub suku yang beragam (hingga
450 sub suku) membangun rumah panjang sesuai dengan karakteristik
budaya dan kondisi alam. Secara umum bentuk rumah betang antar sub suku
dibedakan dengan :
1. Tanpa hiasan
Rumah
betang dengan atap tanpa hiasan merupakan rumah betang yang terbanyak
yang masih dapat ditemui sekarang. Biasanya masih dihuni sampai
sekarang. Seperti di daerah Kapuas Hulu, Sanggau dan Pontianak
Kalimantan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Anton W. Nieuwenhuis, Di Pedalaman Borneo, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, sampul belakang.
Agustian, Juangi Matias, Mirza, Koleksi Religi Kehidupan Tradisional Masyarakat Dayak Kalimantan Barat. Departemen dan Kebudayaan Kalimantan Barat. 1995
Florus Paulus, Djueng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, LP3S-Institute Dayakology Research and Development Gramedia Indonesia. 1994
Paul Michael Taylor dan Lorraine V. Aragon, Beyond The Java Sea, The National Museum of Natural History, Washington D.C, p. 148
[1] Florus Paulus, Djuweng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, ‘Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi’ ( LP3S-Institute of Dayakology Research and Development dengan Gramedia Widiasarana Indonesia,1994 ), p. 199.
[2] Florus Paulus, Djuweng Stepanus, Bamba Jhon, Andasputra Nico, ‘Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi’ ( LP3S-Institute of Dayakology Research and Development dengan Gramedia Widiasarana Indonesia,1994 ), pp. 205-206.
[3] Ibid
[4] Agustiah, Juangi Matias, Mirza.’Koleksi Religi Kehidupan Tradisional Masyarakat Dayak Kalimantan Barat. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat, 1995 )pp. 35-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar